Proliman lahir ditengah-tengah gempuran jaman yang serba digital, serba penuh tantangan, maka melalui slogan membuka wawasan dengan berbagai sudut pandang dapat mengajak masyarakat menilai, berfikir kritis serta membuka wawasan seluas-luasnya dengan berbagai sudut pandang.

Selasa, 19 November 2013

Sejarah Listrik di Solo

11/19/2013 03:21:00 PM

Kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri. Adalah Surakarta atau lebih dikenal dengan Solo, yang merupakan sebuah kota budaya dan bisa disebut sebagai jantungnya Jawa Tengah. Menurut Susanto dalam artikelnya yang berjudul Jati Diri Kota Solo, umumnya kota terbentuk dari sebuah desa, namun tidak semua desa dapat berkembang menjadi kota. Desa dapat berkembang menjadi kota apabila tempat itu menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, industri, atau pusat pertambangan. Modernitas tentunya tak bisa ditinggal oleh yang namanya listrik.

Listrik di kota Solo memliki peran penting dalam perkembangannya dari abad 17 hingga abad 20. Solo juga dipacu untuk terus menjadi kota yang sebenarnya dengan cara melakukan modernisasi. Dimulai dari Pakubuwono II sampai dengan Pakubuwono X bahwa setiap raja pasti memberikan konstribusi terhadap perkembangan kota sesuai dengan kebijakannya masing-masing. Masa paling menonjol yaitu pada pemerintahan Pakubuwono X, dimana beliau telah melakukan pembangunan kota secara besar-besaran di Solo yang dimulai dengan usaha untuk menghidupkan kota di waktu malam hari.

Seperti yang tercantum dalam Babad Sala, Tempo dulu, Kota Solo pada malam hari suasananya gelap karena kurangnya penerangan. Saat itu, yang digunakan untuk penerangan hanyalah lampu ting, yaitu lampu teplok yang memakai semprong yang disatukan dengan tempat yang terbuat dari seng, berbentuk persegi dan memakai kaca. Lampu ting ini dipasang dengan cara digantung di sepanjang jalan yang dianggap ramai. Kala itu, setiap seratus meter dipasang lampu satu. Lampu yang sinarnya remang-remang itu dinyalakan oleh abdi delem kraton mulai pukul 18.00 hingga 06.00. Namun, ketika musim penghujan datang banyak lampu yang mati lantaran kena air hujan atau tertiup angin.

Kondisi yang demikian itulah yang menyebabkan pemerintah kolonial mengkomandoi pembesar kerajaan pada tahun 1902 yaitu Pakubuwono X, Mangkunegara VI, serta para hartawan kerajaan untuk mendirikan sebuah perusahaan yang diberi nama Solosche Electricitiets Maatschappij (SEM) atau Perusahaan Listrik Solo. Langkah awalnya yaitu mengupayakan mesin pembangkit listrik menggunakan mesin diesel yang diletakkan di dekat stasiun Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) di Purwosari. Biaya pengadaan mesin diesel tersebut ditanggung bersama oleh ketiga pembesar kerajaan yang telah disebutkan tadi.

Dengan sentuhan listrik yang ada pada jaman itu membawa Solo mendapat predikat sebagai kota yang tak pernah tidur. Dikarenakan banyak bermunculan hibura-hiburan malam seperti pasar malam, bioskop, serta tempat-tempat pesta untuk para meneer dan noni Belanda. Walaupun Solo awalnya hanyalah sebuah desa terpencil, namun berkat adanya polesan dari beberapa pemimpin yang bertanggung jawab dan berwawasan maju, Solo pada jaman itu pun berubah menjadi Solo yang kota. Modernisasi yang telah menyulap Solo kuno di sekitar ratusan tahun yang lalu mampu membuat masyarakatnya beradaptasi dengan kemajuan jaman. [Pro/Del]


Pasang Iklan Anda Disini

 

About Us | Kontak | Redaksi